Selasa, 24 April 2012

DIA BERNAMA CARNOLUS

Bebarapa hari yang lalu aku sempat bertemu dengan seseorang. Tak ada yang istimewa dari dia. Bahkan terlalu biasa. Setidaknya itu kesan pertama sebelum aku sempat berbincang, tepatnya mendengarkan ceritanya. Cerita tentang hidupnya.Dari ribuan kalimat yang sempat saling bertukar, ada yang selalu aku ingat dan membuatku ingin menulisnya disini."Tuhan menyayangi kita lebih dari diri kita sendiri. Hanya terkadang kita yang menghalangi kasih sayang Tuhan dengan apa yang disebut dengan ketamakan, tak pandai bersyukur..."
"Bersyukur?" aku memotong kalimatnya. "Saya selalu bersyukur. Bibir saya selalu mengucap 'Alhamdulillah'. Dan itu otomatis terucap karena terlalu seringnya."
Dia tersenyum. "Tapi apa dalam kenyataannya kita benar-benar sudah bisa menerima apa yang sudah kita punya? Kita sering menggurutu... Dapat 10, kita akan berkata: coba kalo 20... Diberi 100, seandainya kita punya 1000...Bahkan kita tidak benar-benar bisa menjaga apa yang sudah kita punya dengan menggunakannya secara sia-sia..."
"Terlalu filosofis!" aku sempat mendebat. "Manusiawi kan kalo kita menginginkan lebih? Jaman sekarang apa yang tidak dihitung dengan materi? Kapitalis? Memang sekarang jamannya kan?"
"Ikuti arus... tapi jangan terbawa arus...?" jelasnya dengan sabar. Terlalu sabar menurutku. Dan saya semakin tidak mengerti."Hidup itu tergantung dari mana kita memandangnya," lanjutnya kemudian. " Jika terasa berat, cobalah lihat dari sisi yang berbeda. 100 akan terasa banyak kalo kita menilainya banyak. Tapi juga tidak akan ada artinya jika kita menilainya sedikit.." dia berhenti sejenak untuk menghabiskan kopinya. Lalu berpaling kearahku. "Mau tambah lagi kopinya?"
Aku menggeleng. Dua gelas sudah cukup sejak aku mulai ngobrol dengannya.
"Hargailah semua yang kamu dapat dengan tinggi. Bukan dari kwantitasnya," suaranya masih terdengar lembut. " Tapi bagaimana cara kamu mendapatkannya. Setiap tetes keringat tidak ada yang sia-sia. Maka kamu akan menjadi orang yang pandai bersyukur dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya orang yang fasih mengucap 'Alhamdulillah' secara lisan saja...Satu lagi, sahabatku, berbagilah dengan orang lain. Maka kamu akan menemukan kebahagiaan..."
Matanya menatapku tajam meski senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Hidup itu tidak mudah, tapi juga tidak sesulit yang kita takutkan.Jangan menyerah dan tetap semangat..."
Dan laki-laki itu bernama Carnolus.


KISAH SEEKOR KUCING

Seekor kucing terlihat khusyu berdo'a. Dari riak mukanya terpancar sebuah harapan yang begitu besar. Permohonannya luruh dalam tunduk dan tak pernah terucap. Dan kadang do'a yang tak terucap  justru lebih tajam. Hingga akhirnya sebuah sinar menyentaknya. Tubuhnya bergetar. Wajah kucingnya pias dan tampaklah olehnya sosok bermandikan cahaya berdiri didepannya.
"Apa yang kau inginkan, wahai kucing istana?"
"Aku Jatuh Cinta, Dewa.."
"Hahaha... berbahagialah kau mendapatkan anugrah itu."
"Tapi hamba sangat tersiksa..."
"Kadang memang seperti itu. Itu rasa yang wajar."
"Tapi ini sungguh tidak wajar. Hamba mohon, wahai dewa junjungan hamba..."
"Maafkan Aku, Aku tidak bisa memanipulasi cinta. Lagipula, kau adalah seekor kucing. Kalian lebih membutuhkan naluri dari pada cinta, bukan?"
"Cinta ini begitu kuat. Hamba tahu ini menyalahi kodrat..."
"sepertinya ini masalah yang sangat serius?"
"Begitulah..."
"Baiklah, do'amu begitu menusukku. Sekarang berceritalah.."
"Hamba jatuh cinta pada Sang Pangeran..."
"Hahahahaha.... Kamu sadar, wahai kucing?"
"Hamba sadar... untuk itulah hamba mohon pada paduka, dewa junjungan hamba.."
"Tapi Pangeran adalah manusia dan kamu hanyalah seekor kucing."
"Hamba paham.."
"Apa yang harus Aku lakukan? Membuat Pangeran jatuh cinta pada seekor kucing dan menikahinya? Hahahaha... meskipun Aku bisa, tapi Aku jelas tidak akan melakukannya.."
"Rubahlah hamba menjadi manusia."
"Kamu sadar dengan konsekwensinya?"
"Itu lah cinta hamba.."
"Baiklah, Aku turuti permintaanmu. Tapi tentu tidak semudah itu, bukan?"
"Hamba mengerti.."
"Selama 40 hari 40 malam, kau harus membersihkan diri dari segala nafsumu. Belajarlah cara hidup manusia. Aku telah menakdirkanmu sebagai kucing, tapi kau ingin lebih.. Dengan mengatas-namakan cinta, kau rela melakukan apa saja.."
"Terima kasih, Paduka.."

Dan karena begitu kuatnya cinta sang kucing pada Pangeran, segala syarat dia laksanakan meskipun berat. Dan dimalam ke 40, berubahlah dia menjadi seorang perempuan cantik yang begitu penuh pesona. Wajahnya memancarkan kesejukan dan tubuhnya begitu memabukan setiap laki-laki yang memandangnya dengan lenggok gemulai laksana seekor kucing yang manja. Hingga bukan hal yang sulit bagi Pangeran untuk jatuh hati padanya. Dan layaknya dongeng karya HC Anderson merekapun hidup bahagia bersama.

Sang Putri begitu bahagia telah menemukan cinta sejatinya. Hingga suatu saat, Dewa ingin mengujinya. Saat sang Putri sedang memadu kasih dengan suaminya, dilepasnyalah seekor tikus didepan mereka. Dan naluri seekor kucing sang Putripun keluar. Dengan sangat cepat dikejarnya tikus itu dan menerkamnya lalu memakannya bulat-bulat. Dan dalam hitungan detik, berubahlah dia kembali menjadi seekor kucing istana.

"Tubuh adalah sangkar. Karena jiwa yang sebenarnya takan pernah bisa berubah!"
Kata-kata Dewa bagaikan petir ditelinga si kucing.

AKU DAN LAKI LAKI TUA GILA

Setiap aku lewati jalan ini, dia pasti menoleh dan tersenyum padaku. Kadang kubalas sekilas. Tapi lebih sering aku abaikan. Apalagi ketika mulutnya penuh dengan makanan dan memperlihatkan giginya yang kuning dan kotor.
Seperti sore ini, laki-laki itu tengah berjongkok di pinggir timbunan sampah dekat kampungku. Mengais-ngais  mencari sisa-sisa yang bisa dimakannya.
Aku teringat dengan bungkusan yang kubawa. Tadi sebelum pulang aku mampir ketempat seorang kerabat dan pulangnya dibawakan nasi gardus. "Bawa saja, masih utuh, kok. Lagian disini tidak ada yang memakan. Daripada mubazir," kata kerabatku waktu itu. Dan aku bukanlah tipe orang yang 'prewira', yang bisa pura-pura menolak padahal memang membutuhkannya. Apalagi pada kerabatku yang satu ini. Yang tahu persis keadaanku.
"Ini, Pak," kosodorkan tas plastik hitam berisi nasi gardus itu.
Sejenak dia memandangku lalu terkekeh. Dengan sigap dibukanya dan wajahnya langsung berubah dan seringainya semakin lebar. Begitu lebarnya sampai seluruh wajahnya nyaris berubah menjadi mulutnya. Aku bergidik. Tapi anehnya, aku justru terpengaruh dengan seringainya dan ikut menarik kedua sudut bibirku.
"Humm..." tiba-tiba tangannya menyodorkan nasi bungkus ditangannya.
"Makan saja, Pak.." balasku menolak. Dalam hati aku sempat mengutuk. Masa aku harus makan bareng orang gila dan ditempat seperti ini.
"Humm.." kembali dia menyodorkan bungkusan itu. Dan, Ya Tuhan, matanya itu. Belum pernah aku melihat mata seperti itu. Begitu tulus dan mampu menyedotku. Aku seperti terhipnotis. Dan tiba-tiba aku telah berjongkok disebelahnya.
Laki-laki itu kembali menyodorkan bungkusan nasi gerdusnya kearahku. Dan dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk membagi dua.
Dengan tangan gemetar, aku membagi nasi beserta lauknya menjadi dua. Sengaja aku memilih bagian yang lebih sedikit karena aku tidak yakin mampu menghabiskannya meskipun seharian ini perutku belum terisi. Dan sebelum aku menyerahkannya, tiba-tiba tangan laki-laki tua itu telah menukarnya dan sekarang aku justru mendapat bagian yang lebih banyak.
Dengan lahap laki-laki itu mulai memakannya sambil sesekali menyeringai kearahku dan menyuruhku untuk ikut makan. Dan lagi-lagi, mata itu, Ya Tuhan... Dan sesaat kemudian akupun mulai lahap memakan nasi gardus bagianku.
Tubuhku tiba-tiba bergetar. Perasaanku berkecamuk. Seluruh syarafku menegang. Dan semua berkumpul dikedua kelopak mataku membentuk kristal bening yang mulai bergulir tanpa mampu aku bendung. Tak ada kata yang mampu aku ucapkan. Semua seperti terkunci oleh perasaan yang asing tapi begitu indah. Ini begitu nyata. Sangat nyata.
Segala beban seperti menguap. Lepas. Aku merasa begitu ringan. Aku tidak lagi peduli pada laki-laki tua gila disampingku. Tidak juga dengan tatapan orang-orang yang lewat yang memandangku dengan aneh.
"Dia sudah jadi gila..."
"Kasihan, sejak ditinggal anak dan istrinya dia jadi seperti itu..."
"Depresi..."
"Stress..."
"Padahal dia masih muda..."
Semua kata-kata yang terlontar terdengar begitu merdu. Aku tidak peduli. Tidak lagi peduli. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang saya tahu, inilah indahnya berbagi. Karena aku tidak membutuhkan alasan apapun untuk sedikit berbuat baik meski pada laki-laki tua gila yang suka menyeringai.
Dan sejak sat itu, akupun suka menyeringai sendiri.

SEJENGKAL TANAH

Malam ini terasa begitu lengang tak seperti biasanya. Dentang dua belas kali telah lewat beberapa menit yang lalu. Gerimis yang turun sejak Isya tadi seperti mewakili langit yang menangis. Lolong anjing kampung tak hentinya bersahutan dengan suara kodok yang menciptakan symphoni  yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sesuatu telah terjadi malam ini.
Aku terus memperhatikan dua laki-laki itu dari jarak yang aku pikir aman dari jangkauan pandangan mereka. Keduanya nampak berjalan setengah tergesa-gesa dengan beban dipundak menuju area kebun jagung dekat dermaga. Aku terus mengikutinya tanpa suara. Sesaat aku berhenti. Seekor burung hantu yang hinggap diranting pohon nangka sempat mengagetkanku. Matanya yang bulat menatapku tajam lalu tiba-tiba mengepakan sayapnya dan terbang.
"Disini?" itu suara Lek Sapan.
"Sebaiknya agak lebih ketengah lagi," jawab Lek Masum.
Dan ketika langit menjerit dengan didahului mengeluarkan cahayanya, saat itu aku sempat melihat raut tegang di wajah keduanya. Mereka kembali berjalan lebih masuk ketengah.
Ya, aku memang mengenal kedua laki-laki itu. Lek Masum dan Lek Sapan. Mereka sekampung denganku dan warga kampung mengenal mereka sebagai anak buah juragan Arsa.
" Disini."
Mereka berhenti ditempat  datar dekat pohon randu ditengah kebun jagung. Lek Masum mulai mencangkuli tanahnya dengan cangkul yang dibawanya dan Lek Sapan menjatuhkan  begitu saja beban yang sedari tadi dipanngulnya ketanah becek yang tersiram gerimis.
....

"Assalamualaikun... Imam ada, Yu?"
"Walaikum salam.. O, kamu, Sum.. Ada itu nembe selesai Maghriban. Tumben nyari Imam. Ada yang penting?"
Selepas Maghrib tadi mereka berdua mencariku kerumah.
"Ah, ga ada apa-apa kok, Yu.. Cuma rembugan biasa.."
"Imam.." Ibuku memanggil. "Ini ada Lek Masum sama Lek Sapan."
Aku keluar menemui mereka, "Njanur gunung, Lek.. Monggo duduk dulu..."
"Ga usah," Lek Sapan yang menjawab. "Kami cuma disuruh menyampaikan undangan dari juragan Arsa. Malam ini kamu ditunggu dirumah.."
Mendengar nama juragan Arsa, wajah Ibuku langsung berubah. "Lha ada apalagi juragan Arsa ngundang anakku? Kan sudah jelas jawabannya. Anakku ga mau menjual tanahnya. Lagipula itukan tanah peninggalan almarhum bapaknya Imam dan ga bakal dijual meski dibeli berapapun..." nada bicara ibuku mulai tinggi. Aku hanya menghela nafas. Masalah ini lagi, pikirku.
Sudah berapa kali juragan Arsa baik sendiri maupun melalui suruhannya memintaku untuk menjual sepetak tanah yang terletak diujung kampung. Katanya mau dibangun tempat hiburan untuk anak-anak muda kampung. Dan yang disebut hiburan itu adalah musik dengan volume keras, perempuan-perempuan cantik dan minuman-minuman memabokan. Dan berulang kali juga aku menolak tawarannya. Tapi rupanya, bukan juragan Arsa jika mundur begitu saja. Dia tetap merayuku dan ibuku untuk mau menjual tanahnya baik dengan cara halus atau intimidasi. Tapi kamipun tetap bertahan. Meski untuk itu tak jarang kami mendapat teror dan ancaman-ancaman.
"Lek," kataku kemudian. "Kalo juragan Arsa mengundang saya untuk membahas soal tanah peninggalan bapak, sampaikan padanya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya menolaknya.."
"Oh, tidak, Mam..." Lek Masum cepat memotong. "Menurut juragan Arsa, dia cuma mau ngundang kamu untuk ngobrol-ngobrol saja. Tidak ada hubungannya sama tanahmu.."
"Iya. Betul itu, Mam.." Lek Sapan ikut menimpali.
Aku menatap wajah ibuku. Dan aku bisa membaca rona kekhawatiran dikerutnya.
"Baiklah.. Insya Allah saya akan datang ba'da Isya nanti."
"Mam.." ibuku mencengkeram kuat lenganku.
"Ga papa, Bu.." kugenggam lembut tangannya. "Tidak baik menolak undangan seseorang. Kita tidak bisa untuk selalu bershu'udzon bukan?"
"Kalo begitu, kita berangkat sekarang saja, Mam.." kata Lek Masum.
"Kok sekarang? Kan ba'da Isya nanti, Lek.." jawabku.
"Sebaiknya sekarang saja biar nanti tidak kemalaman pulangnya."
"Baiklah.."kutatap wajah ibuku. Kucium tangannya. "Saya akan baik-baik saja, Bu.."
Ibuku hanya terdiam menatapku tanpa sepatah kata. Bahkan tetap tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat aku mengucapkan salam.
Dan sesaat kemudian aku telah berjalan beriringan bertiga dengan Lek Masum dan Lek Sapan. Sepanjang perjalanan aku mencoba menyusun kalimat jawaban seandainya juragan Arsa kembali membicarakan soal tanah.
"Kamu benar-benar ga mau jual tanahmu, Mam?" suara Lek Sapan memecah kebisuan setelah sekian lama kami berjalan dalam diam. Aku sempat kaget dan tidak siap dengan pertanyaannya.
"Ada apa, Lek?" tanyaku.
"Kamu bener-bener ga mau jual tanahmu?" ulang Lek Sapan.
Aku menggeleng. "Tidak, Lek. Saya sudah jelaskan berulang kali sama juragan Arsa. Karena itu tanah peninggalan almarhum bapak. Dan bapak dulu sudah berpesan untuk jangan pernah menjual tanah itu apapun alasannya.."
"Masalahnya, tinggal tanahmu saja yang belum dijual ke juragan Arsa. Semua warga kampung yang tanahnya mau dibangun tempat hiburan itu sudah setuju untuk menjual tanahnya. Bahkan juragan Arsa memberikan harga spesial untuk tanahmu itu.."
"Maaf, Lek.." aku menghentikan langkahku. "Tadi saya sudah bilang, jika ini adalah soal tanah saya, saya tidak akan memenuhi undangan juragan Arsa. Sebaiknya saya pulang saja.."
"Kamu keras kepala seperti bapakmu, Mam!"
Aku berbalik hendak meninggalkan mereka. Dan baru satu langkah aku ayunkan kakiku, tiba-tiba aku merasakan benda keras menghajar tengkukku. Mataku berkunang-kunang dan pandanganku mengabur. Aku masih sempat mengingat wajah ibuku sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
....

Aku terus memperhatikan kedua laki-laki itu. Mereka terus mencangkuli tanah. Keringat mereka bercampur dengan air gerimis. Dan saat kilat menyambar, aku melihat jasadku tergeletak ditanah yang becek disamping mereka.




cilacap, 9 september 2011

KOPI INI TERASA LEBIH PAHIT

"Kopi ini teras lebih pahit," gumamku.
Kulirik lagi dia melalui ujung mataku lalu kembali kuhirup cangkir yang masih menempel dibibirku. Benar-benar pahit. Wajahku sampai beekerut dan kukecap-kecapkan lidahku untuk sedikit mengurangi rasa pahitnya. Kuletakan cangkir berisi kopi yang baru kukecap sedikit itu keatas meja. "Jangan bilang kamu ga punya gula," candaku.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum. "Aku sengaja," katanya singkat dalam senyumannya.
"Sengaja ingin membunuhku?"
Dia terkekeh. Aku ikut tertawa. Bahagia rasanya melihat dia tertawa seperti itu. Dan tiba-tiba dia meraih tanganku dan digenggamnya erat. "Aku mencintaimu..." suaranya nyaris tak terdengar. Dan bibirku bereaksi spontan mengeluarkan kata-kata klise. "Aku juga.."
Kutatap matanya. Mata yang selalu membuatku tak berdaya. Yang seperti menghipnotisku untuk masuk dan menguak segala rahasia didalamnya. Mata yang bulat dengan alis tebal teratur. Yang bisa memancarkan kelembutan dan ketegasan dalam waktu yang bersamaan.
"Aku sengaja membuat kopi pahit untukmu. Tanpa gula sama sekali.."
"Untuk merayakan satu tahun kebersamaan kita?" potongku.
Ya, hari ini adalah genap satu tahun kami menjalani hari-hari penuh kebersamaan. Dan selama satu tahun pula aku merasakan yang belum pernah aku rasakan dengan kekasih-kekasihku yang lain sebelumnya.
Kedekatan kami berawal saat motorku bocor sepulang nge-gym dan dia menwari bantuan untuk nebeng dimobilnya selagi motorku ditinggal dibengkel. Sebelumnya kami memang sering ketemu ditempat gym tapi sekedar ber-say hello biasa saja.
Sepanjang perjalanan kami ngobrol akrab dilanjutkan saling sms, curhat lewat telpon dan akhirnya kami sepakat untuk menjadi sepasang kekasih.
Aku tidak berusaha menyembunyikan hubungan kami. Tapi tidak juga memperlihatkannya secara mencolok. Kami menjalani semua dengan hati. Dan yang paling penting adalah aku merasa sangat nyaman bersamanya. Bukannya mau membandingkan, tapi aku tidak pernah senyaman ini saat aku menjalin hubungan dengan Dewi, Winda, Ine atau perempuan-perempuan lainnya.
"Aku membuatkanmu kopi pahit agar kau terbiasa.." suaranya mengagetkanku. Tangannya masih menggenggam tanganku.
"Terbiasa dengan apa?"
"Dengan semua yang pahit."
Aku masih belum mengerti maksudnya. Tapi perasaanku mengatakan, ini serius. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Dia jarang bicara kecuali untuk hal-hal yang penting. Dan ketika dia mulai puitis, berarti pasti ada yang serius.
Kutatap matanya. Mencoba mencari penjelasan didalamnya. Tapi seperti biasa aku justru tenggelam.
"Jangan menatapku seperti itu.." dia mencoba mengalihkan pandangannya ketempat lain.
"Ada apa sebenarnya?"
Dia menghela nafas. Bisa kurasakan sesak dadanya dari hembusannya yang sempat tersendat. Dan tiba-tiba akupun merasa sesak.
"Aku sangat mencintaimu." katanya kemudian.
"Aku bisa merasakannya..Lalu?"
"Kamu adalah hal terindah dalam hidupku.."
"Aku mendengarkanmu.."
"Aku bahagia saat bersamamu. Aku nyaman. Aku menemukan diriku pada setiap nafasmu. Pada setiap debar dadamu. Pada lembut bibirmu..."
Ini pasti ada yang tidak beres, pikirku. Aku hendak menyela kata-katanya. Tapi sejenak kuputuskan untuk membiarkannya berbicara.
"Tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini..."
Hmm... jadi ini yang ingin dia katakan? Tapi...
"Apa?!" tak urung aku terhenyak. "Maksudmu?"
"Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini..."
Aku butuh waktu untuk mencerna dan menerima kata-katanya. Lalu, "Kenapa?" tanyaku putus asa. Suaruku begitu pelan, nyaris aku sendiri yang mendengarnya. Tapi rupanya dia mendengar pertanyaanku.
"Abi.." kudengar suaranya. Tangannya kembali menggenggam tanganku yang tadi sempat terlepas. Masih terasa hangat. Tapi beda. "Dari awal kita tau, semestinya kita tidak menjalani ini..."
"Tapi kita saling mencintai.." kali ini aku memotong kalimatnya.
"Aku tahu. Tapi ini tidak semestinya.."
"Apa aku salah mencintaimu?"
Tidak pernah ada yang salah dengan cinta.."
"Kenapa dulu..."
"Karena kau begitu mempesonaku.."kali ini dia yang memotong kalimatku. "Kau membuatku tidak berdaya. Kau membuatku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Aku bahagia bersamamu. Kau terlalu sempurna untukku..."
Aku menatap matanya. Dan kembali dia menghindari tatapan mataku.
"Kita salah, Abi. Ini yang terbaik untuk kita..."
Tapi aku tidak puas dengan penjelasannya. "Someone else?" tanyaku tajam to the point. Dan sesuatu yang tidak aku harapkan terjadi. Dia mengangguk.
"Siapa dia?" aku mendengar suaraku bergetar.
"Yolanda.." kudengar suaranya pelan. "Aku akan menikahinya bulan depan..."
Dan kata-kata berikutnya sudah tidak penting lagi karena semua seperti menguap begitu saja. Aku kembali mengecap-ngecapkan lidahku mencari sisa-sisa rasa pahit kopi yang tadi aku minum. Kopi terakhir yang dibuat oleh Bram, kekasih sejenisku.
Dan hari-hari berikutnya setiap kopi yang aku minum jadi terasa lebih pahit.




cilacap, 9 september 2011