Malam ini terasa begitu lengang tak seperti biasanya. Dentang dua
belas kali telah lewat beberapa menit yang lalu. Gerimis yang turun
sejak Isya tadi seperti mewakili langit yang menangis. Lolong anjing
kampung tak hentinya bersahutan dengan suara kodok yang menciptakan
symphoni yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sesuatu telah
terjadi malam ini.
Aku terus memperhatikan dua laki-laki itu dari
jarak yang aku pikir aman dari jangkauan pandangan mereka. Keduanya
nampak berjalan setengah tergesa-gesa dengan beban dipundak menuju area
kebun jagung dekat dermaga. Aku terus mengikutinya tanpa suara. Sesaat
aku berhenti. Seekor burung hantu yang hinggap diranting pohon nangka
sempat mengagetkanku. Matanya yang bulat menatapku tajam lalu tiba-tiba
mengepakan sayapnya dan terbang.
"Disini?" itu suara Lek Sapan.
"Sebaiknya agak lebih ketengah lagi," jawab Lek Masum.
Dan
ketika langit menjerit dengan didahului mengeluarkan cahayanya, saat
itu aku sempat melihat raut tegang di wajah keduanya. Mereka kembali
berjalan lebih masuk ketengah.
Ya, aku memang mengenal kedua
laki-laki itu. Lek Masum dan Lek Sapan. Mereka sekampung denganku dan
warga kampung mengenal mereka sebagai anak buah juragan Arsa.
" Disini."
Mereka
berhenti ditempat datar dekat pohon randu ditengah kebun jagung. Lek
Masum mulai mencangkuli tanahnya dengan cangkul yang dibawanya dan Lek
Sapan menjatuhkan begitu saja beban yang sedari tadi dipanngulnya
ketanah becek yang tersiram gerimis.
....
"Assalamualaikun... Imam ada, Yu?"
"Walaikum salam.. O, kamu, Sum.. Ada itu nembe selesai Maghriban. Tumben nyari Imam. Ada yang penting?"
Selepas Maghrib tadi mereka berdua mencariku kerumah.
"Ah, ga ada apa-apa kok, Yu.. Cuma rembugan biasa.."
"Imam.." Ibuku memanggil. "Ini ada Lek Masum sama Lek Sapan."
Aku keluar menemui mereka, "Njanur gunung, Lek.. Monggo duduk dulu..."
"Ga
usah," Lek Sapan yang menjawab. "Kami cuma disuruh menyampaikan
undangan dari juragan Arsa. Malam ini kamu ditunggu dirumah.."
Mendengar
nama juragan Arsa, wajah Ibuku langsung berubah. "Lha ada apalagi
juragan Arsa ngundang anakku? Kan sudah jelas jawabannya. Anakku ga mau
menjual tanahnya. Lagipula itukan tanah peninggalan almarhum bapaknya
Imam dan ga bakal dijual meski dibeli berapapun..." nada bicara ibuku
mulai tinggi. Aku hanya menghela nafas. Masalah ini lagi, pikirku.
Sudah
berapa kali juragan Arsa baik sendiri maupun melalui suruhannya
memintaku untuk menjual sepetak tanah yang terletak diujung kampung.
Katanya mau dibangun tempat hiburan untuk anak-anak muda kampung. Dan
yang disebut hiburan itu adalah musik dengan volume keras,
perempuan-perempuan cantik dan minuman-minuman memabokan. Dan berulang
kali juga aku menolak tawarannya. Tapi rupanya, bukan juragan Arsa jika
mundur begitu saja. Dia tetap merayuku dan ibuku untuk mau menjual
tanahnya baik dengan cara halus atau intimidasi. Tapi kamipun tetap
bertahan. Meski untuk itu tak jarang kami mendapat teror dan
ancaman-ancaman.
"Lek," kataku kemudian. "Kalo juragan Arsa
mengundang saya untuk membahas soal tanah peninggalan bapak, sampaikan
padanya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya menolaknya.."
"Oh,
tidak, Mam..." Lek Masum cepat memotong. "Menurut juragan Arsa, dia
cuma mau ngundang kamu untuk ngobrol-ngobrol saja. Tidak ada hubungannya
sama tanahmu.."
"Iya. Betul itu, Mam.." Lek Sapan ikut menimpali.
Aku menatap wajah ibuku. Dan aku bisa membaca rona kekhawatiran dikerutnya.
"Baiklah.. Insya Allah saya akan datang ba'da Isya nanti."
"Mam.." ibuku mencengkeram kuat lenganku.
"Ga
papa, Bu.." kugenggam lembut tangannya. "Tidak baik menolak undangan
seseorang. Kita tidak bisa untuk selalu bershu'udzon bukan?"
"Kalo begitu, kita berangkat sekarang saja, Mam.." kata Lek Masum.
"Kok sekarang? Kan ba'da Isya nanti, Lek.." jawabku.
"Sebaiknya sekarang saja biar nanti tidak kemalaman pulangnya."
"Baiklah.."kutatap wajah ibuku. Kucium tangannya. "Saya akan baik-baik saja, Bu.."
Ibuku
hanya terdiam menatapku tanpa sepatah kata. Bahkan tetap tak ada
kata-kata yang keluar dari mulutnya saat aku mengucapkan salam.
Dan
sesaat kemudian aku telah berjalan beriringan bertiga dengan Lek Masum
dan Lek Sapan. Sepanjang perjalanan aku mencoba menyusun kalimat jawaban
seandainya juragan Arsa kembali membicarakan soal tanah.
"Kamu
benar-benar ga mau jual tanahmu, Mam?" suara Lek Sapan memecah kebisuan
setelah sekian lama kami berjalan dalam diam. Aku sempat kaget dan tidak
siap dengan pertanyaannya.
"Ada apa, Lek?" tanyaku.
"Kamu bener-bener ga mau jual tanahmu?" ulang Lek Sapan.
Aku
menggeleng. "Tidak, Lek. Saya sudah jelaskan berulang kali sama juragan
Arsa. Karena itu tanah peninggalan almarhum bapak. Dan bapak dulu sudah
berpesan untuk jangan pernah menjual tanah itu apapun alasannya.."
"Masalahnya,
tinggal tanahmu saja yang belum dijual ke juragan Arsa. Semua warga
kampung yang tanahnya mau dibangun tempat hiburan itu sudah setuju untuk
menjual tanahnya. Bahkan juragan Arsa memberikan harga spesial untuk
tanahmu itu.."
"Maaf, Lek.." aku menghentikan langkahku. "Tadi
saya sudah bilang, jika ini adalah soal tanah saya, saya tidak akan
memenuhi undangan juragan Arsa. Sebaiknya saya pulang saja.."
"Kamu keras kepala seperti bapakmu, Mam!"
Aku
berbalik hendak meninggalkan mereka. Dan baru satu langkah aku ayunkan
kakiku, tiba-tiba aku merasakan benda keras menghajar tengkukku. Mataku
berkunang-kunang dan pandanganku mengabur. Aku masih sempat mengingat
wajah ibuku sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
....
Aku
terus memperhatikan kedua laki-laki itu. Mereka terus mencangkuli
tanah. Keringat mereka bercampur dengan air gerimis. Dan saat kilat
menyambar, aku melihat jasadku tergeletak ditanah yang becek disamping
mereka.
cilacap, 9 september 2011
maen maning ..
BalasHapus