Selasa, 24 April 2012

SEJENGKAL TANAH

Malam ini terasa begitu lengang tak seperti biasanya. Dentang dua belas kali telah lewat beberapa menit yang lalu. Gerimis yang turun sejak Isya tadi seperti mewakili langit yang menangis. Lolong anjing kampung tak hentinya bersahutan dengan suara kodok yang menciptakan symphoni  yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Sesuatu telah terjadi malam ini.
Aku terus memperhatikan dua laki-laki itu dari jarak yang aku pikir aman dari jangkauan pandangan mereka. Keduanya nampak berjalan setengah tergesa-gesa dengan beban dipundak menuju area kebun jagung dekat dermaga. Aku terus mengikutinya tanpa suara. Sesaat aku berhenti. Seekor burung hantu yang hinggap diranting pohon nangka sempat mengagetkanku. Matanya yang bulat menatapku tajam lalu tiba-tiba mengepakan sayapnya dan terbang.
"Disini?" itu suara Lek Sapan.
"Sebaiknya agak lebih ketengah lagi," jawab Lek Masum.
Dan ketika langit menjerit dengan didahului mengeluarkan cahayanya, saat itu aku sempat melihat raut tegang di wajah keduanya. Mereka kembali berjalan lebih masuk ketengah.
Ya, aku memang mengenal kedua laki-laki itu. Lek Masum dan Lek Sapan. Mereka sekampung denganku dan warga kampung mengenal mereka sebagai anak buah juragan Arsa.
" Disini."
Mereka berhenti ditempat  datar dekat pohon randu ditengah kebun jagung. Lek Masum mulai mencangkuli tanahnya dengan cangkul yang dibawanya dan Lek Sapan menjatuhkan  begitu saja beban yang sedari tadi dipanngulnya ketanah becek yang tersiram gerimis.
....

"Assalamualaikun... Imam ada, Yu?"
"Walaikum salam.. O, kamu, Sum.. Ada itu nembe selesai Maghriban. Tumben nyari Imam. Ada yang penting?"
Selepas Maghrib tadi mereka berdua mencariku kerumah.
"Ah, ga ada apa-apa kok, Yu.. Cuma rembugan biasa.."
"Imam.." Ibuku memanggil. "Ini ada Lek Masum sama Lek Sapan."
Aku keluar menemui mereka, "Njanur gunung, Lek.. Monggo duduk dulu..."
"Ga usah," Lek Sapan yang menjawab. "Kami cuma disuruh menyampaikan undangan dari juragan Arsa. Malam ini kamu ditunggu dirumah.."
Mendengar nama juragan Arsa, wajah Ibuku langsung berubah. "Lha ada apalagi juragan Arsa ngundang anakku? Kan sudah jelas jawabannya. Anakku ga mau menjual tanahnya. Lagipula itukan tanah peninggalan almarhum bapaknya Imam dan ga bakal dijual meski dibeli berapapun..." nada bicara ibuku mulai tinggi. Aku hanya menghela nafas. Masalah ini lagi, pikirku.
Sudah berapa kali juragan Arsa baik sendiri maupun melalui suruhannya memintaku untuk menjual sepetak tanah yang terletak diujung kampung. Katanya mau dibangun tempat hiburan untuk anak-anak muda kampung. Dan yang disebut hiburan itu adalah musik dengan volume keras, perempuan-perempuan cantik dan minuman-minuman memabokan. Dan berulang kali juga aku menolak tawarannya. Tapi rupanya, bukan juragan Arsa jika mundur begitu saja. Dia tetap merayuku dan ibuku untuk mau menjual tanahnya baik dengan cara halus atau intimidasi. Tapi kamipun tetap bertahan. Meski untuk itu tak jarang kami mendapat teror dan ancaman-ancaman.
"Lek," kataku kemudian. "Kalo juragan Arsa mengundang saya untuk membahas soal tanah peninggalan bapak, sampaikan padanya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya menolaknya.."
"Oh, tidak, Mam..." Lek Masum cepat memotong. "Menurut juragan Arsa, dia cuma mau ngundang kamu untuk ngobrol-ngobrol saja. Tidak ada hubungannya sama tanahmu.."
"Iya. Betul itu, Mam.." Lek Sapan ikut menimpali.
Aku menatap wajah ibuku. Dan aku bisa membaca rona kekhawatiran dikerutnya.
"Baiklah.. Insya Allah saya akan datang ba'da Isya nanti."
"Mam.." ibuku mencengkeram kuat lenganku.
"Ga papa, Bu.." kugenggam lembut tangannya. "Tidak baik menolak undangan seseorang. Kita tidak bisa untuk selalu bershu'udzon bukan?"
"Kalo begitu, kita berangkat sekarang saja, Mam.." kata Lek Masum.
"Kok sekarang? Kan ba'da Isya nanti, Lek.." jawabku.
"Sebaiknya sekarang saja biar nanti tidak kemalaman pulangnya."
"Baiklah.."kutatap wajah ibuku. Kucium tangannya. "Saya akan baik-baik saja, Bu.."
Ibuku hanya terdiam menatapku tanpa sepatah kata. Bahkan tetap tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat aku mengucapkan salam.
Dan sesaat kemudian aku telah berjalan beriringan bertiga dengan Lek Masum dan Lek Sapan. Sepanjang perjalanan aku mencoba menyusun kalimat jawaban seandainya juragan Arsa kembali membicarakan soal tanah.
"Kamu benar-benar ga mau jual tanahmu, Mam?" suara Lek Sapan memecah kebisuan setelah sekian lama kami berjalan dalam diam. Aku sempat kaget dan tidak siap dengan pertanyaannya.
"Ada apa, Lek?" tanyaku.
"Kamu bener-bener ga mau jual tanahmu?" ulang Lek Sapan.
Aku menggeleng. "Tidak, Lek. Saya sudah jelaskan berulang kali sama juragan Arsa. Karena itu tanah peninggalan almarhum bapak. Dan bapak dulu sudah berpesan untuk jangan pernah menjual tanah itu apapun alasannya.."
"Masalahnya, tinggal tanahmu saja yang belum dijual ke juragan Arsa. Semua warga kampung yang tanahnya mau dibangun tempat hiburan itu sudah setuju untuk menjual tanahnya. Bahkan juragan Arsa memberikan harga spesial untuk tanahmu itu.."
"Maaf, Lek.." aku menghentikan langkahku. "Tadi saya sudah bilang, jika ini adalah soal tanah saya, saya tidak akan memenuhi undangan juragan Arsa. Sebaiknya saya pulang saja.."
"Kamu keras kepala seperti bapakmu, Mam!"
Aku berbalik hendak meninggalkan mereka. Dan baru satu langkah aku ayunkan kakiku, tiba-tiba aku merasakan benda keras menghajar tengkukku. Mataku berkunang-kunang dan pandanganku mengabur. Aku masih sempat mengingat wajah ibuku sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
....

Aku terus memperhatikan kedua laki-laki itu. Mereka terus mencangkuli tanah. Keringat mereka bercampur dengan air gerimis. Dan saat kilat menyambar, aku melihat jasadku tergeletak ditanah yang becek disamping mereka.




cilacap, 9 september 2011

1 komentar: