Selasa, 24 April 2012

AKU DAN LAKI LAKI TUA GILA

Setiap aku lewati jalan ini, dia pasti menoleh dan tersenyum padaku. Kadang kubalas sekilas. Tapi lebih sering aku abaikan. Apalagi ketika mulutnya penuh dengan makanan dan memperlihatkan giginya yang kuning dan kotor.
Seperti sore ini, laki-laki itu tengah berjongkok di pinggir timbunan sampah dekat kampungku. Mengais-ngais  mencari sisa-sisa yang bisa dimakannya.
Aku teringat dengan bungkusan yang kubawa. Tadi sebelum pulang aku mampir ketempat seorang kerabat dan pulangnya dibawakan nasi gardus. "Bawa saja, masih utuh, kok. Lagian disini tidak ada yang memakan. Daripada mubazir," kata kerabatku waktu itu. Dan aku bukanlah tipe orang yang 'prewira', yang bisa pura-pura menolak padahal memang membutuhkannya. Apalagi pada kerabatku yang satu ini. Yang tahu persis keadaanku.
"Ini, Pak," kosodorkan tas plastik hitam berisi nasi gardus itu.
Sejenak dia memandangku lalu terkekeh. Dengan sigap dibukanya dan wajahnya langsung berubah dan seringainya semakin lebar. Begitu lebarnya sampai seluruh wajahnya nyaris berubah menjadi mulutnya. Aku bergidik. Tapi anehnya, aku justru terpengaruh dengan seringainya dan ikut menarik kedua sudut bibirku.
"Humm..." tiba-tiba tangannya menyodorkan nasi bungkus ditangannya.
"Makan saja, Pak.." balasku menolak. Dalam hati aku sempat mengutuk. Masa aku harus makan bareng orang gila dan ditempat seperti ini.
"Humm.." kembali dia menyodorkan bungkusan itu. Dan, Ya Tuhan, matanya itu. Belum pernah aku melihat mata seperti itu. Begitu tulus dan mampu menyedotku. Aku seperti terhipnotis. Dan tiba-tiba aku telah berjongkok disebelahnya.
Laki-laki itu kembali menyodorkan bungkusan nasi gerdusnya kearahku. Dan dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk membagi dua.
Dengan tangan gemetar, aku membagi nasi beserta lauknya menjadi dua. Sengaja aku memilih bagian yang lebih sedikit karena aku tidak yakin mampu menghabiskannya meskipun seharian ini perutku belum terisi. Dan sebelum aku menyerahkannya, tiba-tiba tangan laki-laki tua itu telah menukarnya dan sekarang aku justru mendapat bagian yang lebih banyak.
Dengan lahap laki-laki itu mulai memakannya sambil sesekali menyeringai kearahku dan menyuruhku untuk ikut makan. Dan lagi-lagi, mata itu, Ya Tuhan... Dan sesaat kemudian akupun mulai lahap memakan nasi gardus bagianku.
Tubuhku tiba-tiba bergetar. Perasaanku berkecamuk. Seluruh syarafku menegang. Dan semua berkumpul dikedua kelopak mataku membentuk kristal bening yang mulai bergulir tanpa mampu aku bendung. Tak ada kata yang mampu aku ucapkan. Semua seperti terkunci oleh perasaan yang asing tapi begitu indah. Ini begitu nyata. Sangat nyata.
Segala beban seperti menguap. Lepas. Aku merasa begitu ringan. Aku tidak lagi peduli pada laki-laki tua gila disampingku. Tidak juga dengan tatapan orang-orang yang lewat yang memandangku dengan aneh.
"Dia sudah jadi gila..."
"Kasihan, sejak ditinggal anak dan istrinya dia jadi seperti itu..."
"Depresi..."
"Stress..."
"Padahal dia masih muda..."
Semua kata-kata yang terlontar terdengar begitu merdu. Aku tidak peduli. Tidak lagi peduli. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang saya tahu, inilah indahnya berbagi. Karena aku tidak membutuhkan alasan apapun untuk sedikit berbuat baik meski pada laki-laki tua gila yang suka menyeringai.
Dan sejak sat itu, akupun suka menyeringai sendiri.

1 komentar: