Setiap aku lewati jalan ini, dia pasti menoleh dan tersenyum padaku.
Kadang kubalas sekilas. Tapi lebih sering aku abaikan. Apalagi ketika
mulutnya penuh dengan makanan dan memperlihatkan giginya yang kuning dan
kotor.
Seperti sore ini, laki-laki itu tengah berjongkok di
pinggir timbunan sampah dekat kampungku. Mengais-ngais mencari
sisa-sisa yang bisa dimakannya.
Aku teringat dengan bungkusan yang
kubawa. Tadi sebelum pulang aku mampir ketempat seorang kerabat dan
pulangnya dibawakan nasi gardus. "Bawa saja, masih utuh, kok. Lagian
disini tidak ada yang memakan. Daripada mubazir," kata kerabatku waktu
itu. Dan aku bukanlah tipe orang yang 'prewira', yang bisa pura-pura
menolak padahal memang membutuhkannya. Apalagi pada kerabatku yang satu
ini. Yang tahu persis keadaanku.
"Ini, Pak," kosodorkan tas plastik hitam berisi nasi gardus itu.
Sejenak
dia memandangku lalu terkekeh. Dengan sigap dibukanya dan wajahnya
langsung berubah dan seringainya semakin lebar. Begitu lebarnya sampai
seluruh wajahnya nyaris berubah menjadi mulutnya. Aku bergidik. Tapi
anehnya, aku justru terpengaruh dengan seringainya dan ikut menarik
kedua sudut bibirku.
"Humm..." tiba-tiba tangannya menyodorkan nasi bungkus ditangannya.
"Makan
saja, Pak.." balasku menolak. Dalam hati aku sempat mengutuk. Masa aku
harus makan bareng orang gila dan ditempat seperti ini.
"Humm.."
kembali dia menyodorkan bungkusan itu. Dan, Ya Tuhan, matanya itu. Belum
pernah aku melihat mata seperti itu. Begitu tulus dan mampu menyedotku.
Aku seperti terhipnotis. Dan tiba-tiba aku telah berjongkok
disebelahnya.
Laki-laki itu kembali menyodorkan bungkusan nasi
gerdusnya kearahku. Dan dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk
membagi dua.
Dengan tangan gemetar, aku membagi nasi beserta
lauknya menjadi dua. Sengaja aku memilih bagian yang lebih sedikit
karena aku tidak yakin mampu menghabiskannya meskipun seharian ini
perutku belum terisi. Dan sebelum aku menyerahkannya, tiba-tiba tangan
laki-laki tua itu telah menukarnya dan sekarang aku justru mendapat
bagian yang lebih banyak.
Dengan lahap laki-laki itu mulai
memakannya sambil sesekali menyeringai kearahku dan menyuruhku untuk
ikut makan. Dan lagi-lagi, mata itu, Ya Tuhan... Dan sesaat kemudian
akupun mulai lahap memakan nasi gardus bagianku.
Tubuhku tiba-tiba
bergetar. Perasaanku berkecamuk. Seluruh syarafku menegang. Dan semua
berkumpul dikedua kelopak mataku membentuk kristal bening yang mulai
bergulir tanpa mampu aku bendung. Tak ada kata yang mampu aku ucapkan.
Semua seperti terkunci oleh perasaan yang asing tapi begitu indah. Ini
begitu nyata. Sangat nyata.
Segala beban seperti menguap. Lepas.
Aku merasa begitu ringan. Aku tidak lagi peduli pada laki-laki tua gila
disampingku. Tidak juga dengan tatapan orang-orang yang lewat yang
memandangku dengan aneh.
"Dia sudah jadi gila..."
"Kasihan, sejak ditinggal anak dan istrinya dia jadi seperti itu..."
"Depresi..."
"Stress..."
"Padahal dia masih muda..."
Semua
kata-kata yang terlontar terdengar begitu merdu. Aku tidak peduli.
Tidak lagi peduli. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang saya tahu,
inilah indahnya berbagi. Karena aku tidak membutuhkan alasan apapun
untuk sedikit berbuat baik meski pada laki-laki tua gila yang suka
menyeringai.
Dan sejak sat itu, akupun suka menyeringai sendiri.
HUaaaaaa huaaaaa Huaaaa Huaaaa :((
BalasHapusmengharukan sekali...